Jurnalis Metro

Satu Wadah Informasi

Antara Keadilan dan Kebenaran: Refleksi Hartany Soekarno tentang Nurani Jurnalis

Palangka Raya, 3 November 2025 —
Sore itu, udara Palangka Raya yang lembap selepas hujan menyelimuti sebuah rumah sederhana di pinggiran kota. Di beranda yang teduh, Hartany Soekarno duduk bersama beberapa wartawan muda. Secangkir kopi hitam mengepul di meja kayu tua—saksi bisu percakapan yang tak hanya menyinggung profesi, tapi juga menyentuh inti nurani: makna keadilan dan kebenaran dalam dunia jurnalistik.

“Keadilan tidak sama dengan kebenaran,” ucap Hartany perlahan, membuka dialog dengan nada tenang namun dalam. Kalimat itu seketika memecah keheningan, menancap di benak para jurnalis muda yang mendengarnya. Bagi Hartany—yang dikenal lewat slogannya “Jurnalis untuk Keadilan”—perbedaan dua kata itu adalah sumber dilema moral yang tak terelakkan dalam kerja jurnalistik.

“Menjadi jurnalis bukan sekadar menulis berita,” lanjutnya sambil menatap jauh ke arah langit senja. “Kita berada di antara menjaga nurani publik dan lingkaran kekuasaan. Maka etika dan keikhlasan adalah fondasi utama yang harus dijaga.”

Bagi Hartany, profesi jurnalis tak berhenti pada peliputan kegiatan seremonial atau mengutip pernyataan pejabat. Ia mengajak para pewarta muda untuk berani menulis berita yang menggugah kesadaran publik.

“Jangan hanya menulis berita ceremony,” ujarnya menekankan. “Cobalah menggali lebih dalam. Tulislah berita yang membuka mata masyarakat—laporan mendalam, bahkan investigasi—agar kita dihargai bukan karena kedekatan, tapi karena karya.”

Dalam pandangannya, jurnalis sejati adalah pendidik bagi publik. Setiap berita bukan hanya informasi, melainkan sarana pencerahan. “Kita tidak hanya memberitakan, tapi juga mendidik,” katanya. “Itulah tanggung jawab moral dan nurani kita sebagai jurnalis.”

Perbincangan sore itu mengalir tanpa formalitas, namun sarat refleksi. Di balik senyum teduhnya, Hartany seolah mengingatkan bahwa menjadi jurnalis bukan tentang mengejar sensasi atau popularitas, melainkan memperjuangkan nurani—dengan pena yang tajam, tapi berjiwa ikhlas.

Di tengah derasnya arus teknologi digital, kata Hartany, godaan bagi jurnalis untuk berlomba dalam kecepatan menjadi tantangan baru. “Tanpa disadari, itu menggerus etika, nurani, dan profesionalisme yang terkandung dalam kode etik jurnalistik,” ujarnya.

Ia lalu menutup perbincangan dengan nada tegas namun lembut, “Sekali lagi, jadilah jurnalis yang profesional.”
Sebuah kalimat sederhana, namun menggugah. Pesan itu meninggalkan kesunyian reflektif di antara derai tawa kecil dan aroma kopi yang mulai dingin—seolah menjadi pengingat abadi, bahwa di balik setiap berita yang ditulis, tersimpan tanggung jawab besar: menjaga keseimbangan antara keadilan dan kebenaran, meski keduanya tak selalu berjalan beriringan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini