Jurnalis Metro

Satu Wadah Informasi

Haul Abah Guru Sekumpul: Ketika Lautan Manusia Menjadi Dzikir Kolektif

Palangkaraya — Setiap awal Rajab, jalan-jalan menuju Martapura berubah wajah. Bukan oleh gemerlap pesta atau hiruk-pikuk seremonial kekuasaan, melainkan oleh lautan manusia yang datang dengan satu niat: menghadiri haul Abah Guru Sekumpul. Mereka datang dari berbagai penjuru Nusantara, bahkan mancanegara, membawa rindu, doa, dan harapan yang sama.

Haul Abah Guru Sekumpul bukan sekadar agenda tahunan keagamaan. Ia telah menjelma menjadi fenomena sosial dan spiritual yang langka. Di tengah zaman yang kian individualistis, momen ini justru menghadirkan kebersamaan yang tulus tanpa pamrih, tanpa undangan resmi, tanpa tiket masuk.

Abah Guru Sekumpul, KH Muhammad Zaini Abdul Ghani, memang telah wafat. Namun ajaran, akhlak, dan keteladanannya hidup dan terus bertumbuh di tengah umat. Sosoknya dikenal sederhana, lembut, dan menyejukkan. Dakwahnya tidak lantang, tetapi meresap. Tidak menghakimi, tetapi merangkul. Mungkin itulah sebabnya, haul beliau tidak pernah sepi—justru kian membesar dari tahun ke tahun.

Yang menarik, haul ini berlangsung nyaris tanpa komando. Tidak ada mobilisasi massa secara formal, namun jutaan orang bergerak dengan kesadaran sendiri. Warga membuka rumah, dapur umum berdiri di mana-mana, relawan bekerja tanpa bayaran. Di sinilah nilai luhur itu terasa nyata: gotong royong, keikhlasan, dan cinta kepada sesama.

Haul Abah Guru Sekumpul seolah menjadi pengingat keras bagi kita semua—bahwa agama bukan hanya soal simbol, tetapi tentang akhlak. Bukan sekadar ritual, melainkan bagaimana nilai-nilai itu diterjemahkan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kerumunan yang padat, hampir tak terdengar keributan. Dalam antrean panjang, jarang terlihat emosi. Yang tampak justru saling menolong dan saling mendoakan.

Di tengah krisis keteladanan yang sering kita keluhkan hari ini, Abah Guru Sekumpul hadir sebagai contoh bahwa ketulusan lebih kuat daripada kekuasaan, dan akhlak lebih berpengaruh daripada retorika. Haul ini bukan hanya mengenang sosok ulama besar, tetapi juga menjadi cermin bagi umat: sejauh mana kita telah meneladani nilai-nilai yang beliau ajarkan.

Maka, haul Abah Guru Sekumpul sejatinya bukan tentang seberapa banyak orang yang hadir, melainkan seberapa dalam nilai-nilai beliau hidup dalam diri kita setelah pulang. Jika sepulang dari haul kita menjadi lebih sabar, lebih rendah hati, dan lebih peduli pada sesama, di situlah makna atas ajaran beliau benar-benar bersemayam.

Haul ini akan terus ada. Bukan karena tradisi semata, tetapi karena kerinduan umat kepada teladan yang menyejukkan,teladan yang hari ini terasa semakin langka.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini